Kamis, 04 Februari 2010

Mengikuti Jejak Barack Obama


Sebelumnya tidak ada yang menyangka bahwa Barack Obama ternyata seseorang yang dahulunya tinggal di Indonesia, di JL. KH Ramli, Menteng Dalam. Teman-teman sepermainan Obama pun tidak menyangka bahwa Obama yang biasa mereka sapa “Barry” akan melaju menjadi calon pemimpin, bahkan sekarang telah menjadi pemimpin Amerika Serikat, Negara yang paling berpengaruh di dunia.

Di Indonesia, Barack Obama pernah didaftarkan dengan nama Barry Soetoro, kelahiran Honolulu, 4 Agustus 1961. Saat itu, Ann Dunham (Ibu Barack Obama) menikah dengan Lolo Soetoro (asli Indonesia) setelah resmi bercerai dengan suaminya yang berasal dari Kenya, Barack Husein Obama. Barry merupakan anak dari pasangan Ann Dunham dan Barack Husein Obama. Barry memiliki adik dari hasil perkawinan ibunya dengan Lolo Soetoro, yaitu Maya Soetoro.


Bagi teman-teman sepermainan Barry, Barry adalah teman berambut keriting dan berkulit hitam yang mengasyikan. Namun mereka tidak melihat sosok Barry yang menyukai tantangan. Ia menunjukannya dengan berani memelihara buaya saat ia masih kecil.

Sukses memang tidak dapat dibangun dengan mudah. Sejak kecil Barry memiliki sikap yang tidak seperti kebanyakan orang. Ia berani bersikap tegas terhadap hidupnya. Hal itu terbukti dari contoh kecil kehidupan Barry yang berusaha memperhaiki bahasa Inggirsnya dengan belajar dari sang Ibu. Dan untuk itu ia harus bangun jam 4 untuk mempelajari bahasa Inggris dari Ibunya.



Kehidupan yang memaksa Barry terus berpindah-pindah tidak lantas membuatnya tidak memiliki teman. Sebaliknya, Obama memiliki banyak teman kerena ia menunjukkan sikap yang baik dalam berteman. Dia juga memperlihatkan sesuatu yang berbeda dari pergaulannya.

Obama sangat dekat dengan keluarganya, bagi Maya – adiknya, sosok Obama sangatlah penting dalam kehidupannya. “Dia membantuku menentukan pilihan,” katanya. Selain itu, ia pun mengatakan bahwa Obama tidak pernah menunggu datangnya jawaban, tetapi ia sendiri yang mencari jawaban itu. Hal ini terjadi jika Obama merasa adanya kegamangan atau keresahan.

Teman-teman sekolah Obama menyatakan beberapa hal tentang diri Obama. Diantaranya mereka berkata bahwa Obama mempunyai daya tarik personal, kesantunan dan kejujurnannya, ketulusan dalam pergaulan, dan kepiawannya – terutama saat main basket.



Obama memiliki permainan basket yang sempat memikat pelatih basket. Dia selalu berhasil merebut bola dan akhirnya memenangkan permainan. Tak heran ia terpilih untuk masuk tim basket sekolah dan bermain di posisi backup forward, serta membawa timnya menjuarai state championship pada tahun 1979.



Teman satu timnya menggambarkan Obama sebagai teman yang kharismatik, pemimpin yang tenang, dan mampu berbicara sangat bebas dengan pelatihnya ketika ia menyampaikan ketidaksetujuannya. Di luar lapangan, Obama kerap membawa buku kemanapun ia pergi dan membacanya saat di perjalanan.

Menurut temannya, meskipun Obama bergaul dengan santai bersama mereka, ia juga meminta mereka untuk fokus belajar karena hanya dengan pendidikan kita bisa pergi ke mana saja. “saya merasakan nasehatnya . saya dapat pergi kemana pun yang saya mau saat ini,” ujar pria yang berprofesi sebagai jaksa di Sacramento, California itu.

Obama selalu mengerjakan pekerjaannya dengan baik. Pernyataan tersebut dikomentarkan oleh salah satu Profesor yang mengajar Obama di Harvand. Di kampus, Obama mulai terkenal sebagai aktivis. Ia mulai aktif menentang politik, meskipun ia juga kerap hadir di pesta-pesta kampus. Namun, setelah tiba di Occidental College, Los Angels, California, perasaan “teralienasi” menyergapnya. Untuk mengatasinya, Obama mengembangkan dan mempelajari perasaan-perasaannya sendiri.

John Boyer, teman yang tinggal seasrama dengan Obama berkata, “saat dia berbicara, itu adalah momen EF Hutton: Orang-orang mendengarkan. Dia akan menggambarkan kekurangan atau aspek negatif dari sebuah kebijakan beserta konsekuensi-konsekuensinya dan kemudian memberikan pencerahan terhadap kompleksitas permasalahan itu sangat berbeda dengan orang lain. Dia juga humoris.”

Professor Roger Boesche juga ikut menambahkan bahwa Obama adalah orang yang sangat serius namun tidak segan-segan menyampaikan pendapat apabila ada sesuatu yang tidak disepakati. Obama juga merupakan orang yang penuh dengan komitmen. Terbukti saat ia pindah program dari Ocidental ke Columbia University, Ia berkata bahwa ia menginginkan sebuah komunitas yang merupakan sebuah tempat untuk menguji komitmen-komitmennya. “Dia (Obama) sangat cerdas dan ingin memperluas pengalamannya,” tutur Anne Howells, mantan professor bahasa Inggris di Occidental.

Menurut Obama, New York merupakan tempat yang menarik dan sesuai untuk bertukar gagasan, ovelaping cultures, dan memiliki iklim akademik yang bagus. Setibanya di New York, Ia tidak menghentikan sepenuhnya aktivitas politiknya. Untuk mengimbanginya, Obama mengaku mengalokasikan waktu lebih banyak di perpustakaan.

Ketika berargumentasi, Obama memiliki pendekatan sendiri, yang merupakan darah di Jurusan Hukum. Ketika mahasiswa lain memutuskan sesuatu lewat logika dan keyakinannya, Obama memilih untuk mendengarkan, mencari cara pandang lain dan menemukan jalan tengah. Sejak tahun pertama Obama di Harvard, Obama dikenal sebagai peacemaker. Ketika kelas membutuhkan seorang untuk memberikan hadiah kepada Profesor tamu, mereka pasti memilih Obama karena kemampuannya berpidato singkat tapi menawan.

Kini Obama melangkah ke sesuatu yang lebih besar ketika ia terpilih mejadi presiden Harvard Law Review. Pemilihan ini sangat bersejarah karena ia merupakan orang kulit hitam pertama yang menyandang posisi itu sepanjang 104 tahun sejarah Harvard Law Review.

Sampai di sini, kita dapat melihat bahwa Obama membangun fondasi impiannya dengan baik, dimulai dari mengasah keintelektualannya di bangku kuliah, hingga ia terpilih sebagai presiden Harvard Law Review, lembaga bergengsi di kampus nomor satu di AS. Dia pun sukses meraih gelar doktornya dengan gemilang karena mendapat magna cum laude.

Sekarang, Obama telah dikenal oleh seluruh dunia karena ia telah berhasil duduk di belakang meja kepresidenan AS. Kedekatan dan kemampuannya menggalang dukungan menjadikannya gampang meraih dukungan dan akhirnya, ia memecahkan sejarah menjadi Presiden AS kulit hitam pertama!






Obama terkenal sangat berempati pada kaum terpinggirkan dan bisa menawarkancara kreatif dalam pendekatan Internasional AS yang lebih ramah dan dialogis. Namun, setinggi-tingginya layang-layang, pasti membutuhkan seseorang yang berpijak di bumi. Dan dialah Michelle, istri Obama. Peran Michelle sangat dibutuhkan sebagai penyeimbang Obama. Pada saat semangat dan kondisi Psikologis Obama mengendur, Michelle yang datang untuk menenangkannya.





Setelah membaca perjalanan hidup Obama, dapatkah kita melakukan hal-hal tersebut untuk membangun masa depan kita? Ingatlah kata-kata Coretta Scott King: “Jangan pernah takut dengan masa depan karena ketakutan membuat kita membuang kesempatan melakukan perubahan..”